Pages

Senin, 11 November 2013

PULAU RANDAYAN, KALIMANTAN BARAT, INDONESIA

PULAU RANDAYAN, KALIMANTAN BARAT
Sangat menyenangkan dapat mengingat dan terus mengingat perjalanan meski dengan keterbatasan peralatan yang mendukung. Kami serasa menjadi bocah tua petualang. Hehehe.
Sebenarnya kami, saya dan suami, merencanakan ke Pulau Randayan sudah jauh – jauh hari. Namun karena kondisi cuaca dan angin yang kurang mendukung di bulan Desember 2012, kami memutuskan untuk menghabiskan malam pergantian tahun Masehi di pantai Pasir Panjang, Singkawang selama satu hari satu malam. Hitung – hitung bulan madu yang ke sekian.





28 Desember 2012 – 31 Desember 2012.
Cuaca masih didominasi oleh hujan. Hari ini suami membongkar jembatan kecil toko yang lama sekaligus menyemennya dan menggesernya tepat di depan pintu toko. Halaman kecil di depan toko yang selalu tergenang air jika musim penghujan, mendesak untuk disemen.
Cuaca yang tidak mendukung bekerja di bawah matahari, pekerjaan jadi lambat dan molor selesainya. Pekerjaan yang diperkirakan selesai dua hari menjadi empat hari. Saya dan suami memutuskan untuk berpelesir ke Pasir Panjang, Singkawang saja, mengingat hari yang masih penghujan dan angin cukup kencang.

01 Januari 2013.
Awal subuh, saya bersiap dengan sangat bersemangat. Dengan tenangnya saya mengemasi baju dan perkakas yang hendak dibawa. Termasuk kamera saku Yaschica pemberian Bapak dan satu unit laptop milik suami. Dikarenakan hendak ke Pasir Panjang yang notabene masih dalam kota Singkawang, agar ringkas kami memutuskan tidak membawa bekal makanan. Hanya sarapan secangkir kopi dan beberapa potong snack, kami mulai perjalanan menggunakan kendaraan roda dua.
Sepanjang perjalanan Sambas menuju Singkawang, kami menikmati lantuanan khas Iwan Fals dan India. Dudusyalala.
Sebelum kami berangkat tadi, kami melihat tiga bus yang dipenuhi para tetangga dari Kampung Manggis sekitar toko kami yang kabarnya hendak berlibur ke Tanjung Bajau, Singkawang. Hah, sepanjang jalan ternyata itu menjadi pertimbangan kami untuk meneruskan perjalanan. Tidak membelok masuk gerbang Pasir Panjang, Singkawang karena wow, antrian masuk terlihat ramai. Saya dan suami tidak tertarik dengan pantai yang dipenuhi banyak manusia. Maka, lanjuuuttt.

Sambil melewati dua gerbang masuk Pasir Panjang 1 dan 2, suami saya mengajukan Pulau Randayan sebagai tujuan. Saya? Saya tipe yang spontan. Hal ini tidak mengganggu sama sekali. Rencana tujuan berubah yang penting masih pergi liburan saja, it’s OKE.
Masalahnya kami keduanya sama sekali BELUM PERNAH ke sana. Cukup banyak pertanyaan yang hanya bermodalkan jawaban dari informasi berbulan – bulan sebelumnya.

Oke, pertanyaan pertama, darimana mulanya jika hendak menuju Pulau Randayan? Jawaban, dari pelabuhan kecil di Teluk Suak.

Pertanyaan kedua, bagaimana menyebrang menuju Pulau? Jawaban,dengan menggunakan kapal / motor air ukuran sedang (menurut saya...hehehe) yang digunakan nelayan menuju dan dari pulau – pulau.

Pertanyaan ketiga, pukul berapa keberangkatannya? Jawaban, kami disarankan ada di pelabuhan kecil Teluk Suak sebelum pukul sembilan pagi.

Pertanyaan keempat, berapa biaya penyebrangannya? Jawaban, belum pasti.

Pertanyaan kelima, dimana motor nanti kami titpkan? Jawaban, belum tahu.

Pertanyaan keenam, apakah aman menyebrang dalam kondisi cuaca, karena pada saat kami dalam perjalanan langit mendung dan angin cukup kencang? Jawaban, lagi – lagi tidak tahu.
Oalaaaaahhh, masih dengan pertanyaan dalam benak saya.

Pertanyaan ketujuh, apakah sepadan tempat yang kami tuju dengan spontanitas yang kami lakukan? Jawaban, hmmm tidak tahu.

Sesampainya kami di pelabuhan kecil di Teluk Suak. Pemandangan riuh ramai, ada yang baru tiba ada pula yang hendak berlayar lagi. Kami? Kami masih bingung. Setelah dipikir – pikir ini asiknya perjalanan yang spontan, saat itu semua terasa surprise.
Sekitar setengah jam, sambil memperhatikan sekitar, kami singgah di warung kopi terdekat. Saya dan selera makan saya memesan kopi susu dan –hanya ada- mie instan dalam cup. Suami menyantap secangkir kopi dan beberapa potong roti. Setelah mendengar perbincangan dan ikut terlibat dalam perbincangan juga, suami mendapat informasi motor air akan berangkat pulang ke Pulau Lemukutan, yang jika kami hendak ke Randayan, pulau ini adalah pulau terdekat dengan jarak hanya lima belas menit dari Pulau Randayan (semoga saya tidak salah menyebutkan nama pulau).
Kami menunggu.
Hampir setengah jam berjalan lagi, dalam pikiran saya yang masih belum terjawab. Berangkatlah kami. Motor bebek sebelumnya dititipkan ke salah satu toko.
Saat itu, biaya motor air atau kapal kecil sebesar Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk kami berdua. Jadi sekitar dua puluh lima ribu rupiah perorangnya.
Lima belas menit di atas lautan. Angin kencang. Seingat saya ada enam penumpang termasuk kami berdua di dalamnya dan kira – kira lima anak buah kapal. Hehehe, keren ya kedengarannya.
Ternyata hanya kami berdua yang menuju Randayan. Empat lainnya telah lebih dahulu berhenti di pulau – pulau yang saya lupa mengingat namanya yang dilalui.
Rasanya semakin lama, ombak semakin tinggi. Jackpot!!! Saat menurunkan penumpang, kapal kecil mengapung tepatlah perut saya terasa semakin mulas, kerongkongan terasa terdesak dan laut tercemari sarapan saya tadi pagi.
Hampir satu jam atau lebih beberapa menit, mungkin, kami  dapat melihat pulau yang dituju. Cantik. Imut tapi cantik.
Untuk ke daratannya, saat itu karena stehernya rubuh tadi pagi, begitu kabar yang kami dengar, maka kami harus menunggu perahu kecil menjemput kami dari kapal. Kenapa? Karena air tidak cukup dalam sehingga dikuatirkan karang merusak badan kapal.
Membayangkan saja untuk menaiki perahu oleng di atas laut yang saat itu ombaknya tinggi, membuat kami sepakat dengan berandai – andai. Jikalau terdesak, kami akan terjun dari perahu, mengingat bawaan kami berupa laptop (portable computer) dan kamera saku yang terbukti jauh lebih rentan terhadap air asin. Hahahaha...
Nyaris lima belas menit terombang ambing, perahu kami datang juga menjemput. Setelah sebelumnya dua kali bolak – balik menjemput penumpang dari Singkawang yang ternyata sudah satu jam lebih lama dari kami, mereka enam orang Tionghoa yang menyebrang dari Pasir Panjang, Singkawang.
Super duper, akhirnya kami sampai di daratan dengan tanpa perlu terjun ke air asin. View yang saya nikmati pertama kali sangat berkesan.
Pulau kecil dengan beberapa bangunan penginapan (yang justru sebetulnya cukup mengurangi nilai keasrian), dan taburan terumbu karang mati dalam jumlah banyak di atas pasir pantainya.
Lebih berkesan lagi kejernihan laut yang seolah seperti akuarium besarrrr dengan terumbu karang dan ikan – ikan berenang – renang di dalamnya. Subhanallah.
Hari itu, nyaris pukul sebelas kami tiba di pantai. Dengan pengetahuan tentang akomodasi yang terbatas, kami mencari sang pengelola pantai. Bermaksud memesan satu kamar untuk bermalam. Hehehe, dengan keuangan yang terbatas juga, kami berhasil mendapatkan harga kamar VIP (cieee) dengan harga normal. Dengan alasan menyambut Tahun Baru Masehi, ternyata sejak tanggal 30 Desember 2012, pengelola penginapan menaikkan harga kamar – kamar hotel.
Kamar Standar dari yang semula dua ratus ribu rupiah dengan fasilitas kamar tempat tidur, dan kipas angin tanpa kamar mandi, menjadi empat ratus ribu (seingat saya).
Kamar VIP dengan fasilitas kamar tidur ukuran Queen dua buah, kamar mandi dan toilet, televisi, lemari baju, kipas angin serta AC semula dengan harga enam ratus ribu rupiah menjadi satu juta rupiah permalamnya.
Sedangkan untuk Cottage dengan fasilitas dapur, kamar dengan beberapa tempat tidur, kipas angin, lemari baju, kamar mandi dan toilet (saya tidak tahu pasti, karena belum pernah melihat secara langsung) semula permalamnya seharga enam ratus ribu rupiah menjadi satu juta rupiah juga.
Nah tepat tanggal satu Januari berhubung semua tamu malam tahun baru berbalik arah menuju ke rumahnya masing – masing, bersyukurlah kami selain harga penginapan yang kembali normal, pantai pun terasa milik kami seorang..hahahaha..

 Hari itu, kami berdua dan enam orang lainnya yang berasal dari Singkawang menyewa kamar VIP.
Sedangkan di tepi Pantai terdapat satu rombongan muda – muda berkemah.
Sayangnya, karena Randayan dua malam sebelumnya ramai, pengelola rumah makan kehabisan persediaan makanan. Alhasil, yang ada cukup dengan mie instan goreng dan telur. Ah, sedaplah sudah, karena perut yang cacing perut sudah nyanyi keroncongan sejak datang tadi.
Kamera sudah mengambil shift kerjanya. Jeprat – jepret ini – itu.


Sejak tengah hari dan sore harinya, kami berjalan – jalan di tepi pantai. Istirahat sebentar, lalu jalan – jalan lagi. Subhanallah meski saya sempat terserang maag, maag nya tidak lagi terasa saat menikmati tajamnya serpihan terumbu karang dan kasarnya pasir pantai, bermain di laut dangkal. Ikan – ikan dan terumbu karang tampak jelas.
Sebenarnya ada penyewaan alat snorkling dan diving tapi karena keterbatasan dana jadilah kami bermain di air dengan baju lengkap dan indera penglihatan tanpa alat bantu lainnya. Seingat saya, saat itu (jika belum ada perubahan) biaya sewa alat snorkling sebesar Rp. 10.000 perjam. Sedangkan biaya sewa diving sekitar delapan ratus ribu perjamnya...



Malam hari, setelah magrib, kami memutuskan makan malam di kantin. Ahay, mie goreng tanpa telur karna ternyata teluynya sudah habiiiss.
Wow, malam hari suasananya jauh berbeda dengan tadi siang. Horor, rasanya. Dikarenakan belum adanya listrik, lampu jalan yang beberapa buah yang berasal dari tenaga surya, rasanya masih kurang. Misterius rasanya. Hahaha, mulai lebay lah saya.
Kami menghabiskan waktu dengan berbincang di teras kamar. Kebetulan tetangga kami yang menyewa dua kamar, juga asik dengan permainan kartu dan semacamnya di halaman kamar mereka. Bahkan saking asyiknya kami mungkin hanya tidur tiga jam saja.
Adem. Damai. Tanpa Sinyal.


02 Januari 2013.
Pagi hari kami terlambat menemui jemputan kami. Ternyata pagi hari pukul tujuh, motor air sudah ada yang merapat. Rombongan muda – mudi yang berkemah pulang. Kami yang baru turun hendak pulang pukul sembilan.
Apa mau dikata, berdasarkan informasi, tidak ada lagi motor air yang sengaja merapat mengambil penumpang atau tamu dari Pulau Randayan lagi. Tandanya kami harus bermalam semalam lagi. Senang? Ya, senang. Masalahnya isi dompet tidak memadai. Hahaha. Complicated.
Menghibur dompet yang menipis, kami terlibat obrolan dengan para karyawan pengelola pulau. Ada bang Tuang dan istrinya, anaknya yang bernama Nurul dan doa orang pria lagi.
Ternyata tamu enam orang Tionghoa memutuskan untuk pindah ke cottage yang memang lebih dekat dengan kantin yang dikelola oleh Bang Tuang dan istri. Saya rasa mereka juga merasakan sense horor karena kenyataannya mulai hari ini jika kami berangkat pulang, hanya mereka berenam di dalam dua kamar VIP yang dibangun baru dan cukup terpisah dari kantin.
Suami mengajak mengintari pulau dengan berjalan kaki. Nurul, si kecil yang saat itu kelas empat sekolah dasar menawarkan dirinya sebagai penunjuk jalan.
Sangat menyenangkan dan juga melelahkan mengintari pulau. Meski pulau kecil tapi bebatuannya sangat menantang untuk dilewati.




Nurul, si kecil begitu lincah. Saya cukup kewalahan mengikutinya. Suami saya? Ia sangat menikmati sambil menghibur hati dari dompet yang sudah menipis. Hahahaha.
Usainya, kami beristirahat seraya memikirkan bagaimana jika memang harus satu malam lagi.
Sempat kami ditawari untuk ikut rombongan dari Pasir Panjang yang memang pulang – pergi dengan menggunakan speedboat, sayangnya sudah terlalu penuh, baru beberapa meter di laut, kami dikembalikan ke daratan. Haaa, lucu juga rasanya. Miris.
Kembali kami ke kantin, hendak makan siang. Alhamdulillah ada nasi, ikan goreng dan kopi. Alhamdulillah gratis. Hehehehe...
Syukur yang terus dipanjatkan karena ternyata bang Tuang berinisiatif untuk menawarkan kamar standar untuk kami dengan harga miring.
Hari hujan. Kami duduk dengan menyusun rencana. Di bale – bale yang dibuat permanen. Kami melihat ada rombongan lain yang merapat. Rombongan yang menyewa motor air dari Teluk Suak, kabarnya. Berhubung Ibunya Nurul dan Nurul hendak kembali ke Selakau, maka sepakatlah kami untuk ikut rombongan tersebut pulangnya nanti.
Sore hari, sekitar pukul tiga lewat tiga puluh menit, Alhamdulillah meski hari mendung dan angin cukup kencang, kami dapat menyebrang pulang.
Sesampainya di Teluk Suak, nyaris pukul lima, kami mengambil motor yang dititipkan. Biaya penitipan, dua puluh ribu.
Pukul lima kami melanjutkan perjalanan dengan motor bebek kesayangan ke Sambas.
Capek? Yup, tapi sangaaaaaat berkesan.


Beberapa catatan penting yang harus diperhatikan berlibur ke pulau:
1.       Kamera atau handycam tentunya.
2.       Bekal makanan yang cukup, terutama untuk anda yang jago ngemil.
3.       Minyak sereh atau lotion anti nyamuk dan serangga.
4.       Obat seperti paracetamol, obat maag, obat sakit perut.
5.       Vitamin C.
6.     Permainan seperti kartu dan sebagainya jika hendak bermalam, karena minim hiburan elektronik (kalau saya sih asik – asik aja, yang penting udah sampai pantai aja, hehehe).
7.   Dana yang ekstra. Siapa tahu mengalami seperti yang kami alami (ketinggalan motor air) atau ingin menyewa peralatan snorkling dan diving.




  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Template by BloggerCandy.com