Pages

Selasa, 02 September 2014

MISS HER MUCH, MAYANI ANDIE

Abah Iin dan Kak Ngah Yani ( Juli 2008)

Salah satu insan spesial di mata kami.
Kakak sepupu yang dilimpahi dan melimpahi perhatian.
Yang atas Kehendak Allah, melalui tangannya nyaris di hampir setiap liburan semasa kecil hingga remaja, angah dipercayai mama dan bapak untuk ikut andil mendidik dan mengajari kami.

Kak Ngah...Angah Yani.
Begitu banyak memory manis, sangat manis untuk dikenang. Selalu dikenang.

Ini hanya sedikit dari begitu banyak kisah manis saya dan saudari dengan beliau.

Saat usia saya kira - kira 5 tahun, berdasarkan penuturan orangtua dan potongan ingatan saya sendiri, saya yang termasuk tipe tidak mengenal kata jera, sudah akrab dengan kata -tenggelam- di parit besar di gang rumah sewaan kami, Jalan Tanjung Harapan Pontianak (mungkin kisaran tahun 1986 - 1989).

Alkisah, saya yang entah karena terlalu berani atau sangat nekad, mempunyai pola pikir yang sederhana.
"Jika mereka, anak laki-laki dapat melakukannya, maka saya pun dapat melakukannya."

Jadi berbekal pemikiran cetek, anak usia ingusan, setiap kali melihat bocah laki - laki terjun ke parit besar untuk berenang (yang memang sudah lebih besar dan memang bisa berenang), saya pun serta merta terjun. Byuur. Tanpa ban pelampung. Tanpa kata pengantar. Bahkan tanpa surat ijin menerjang bahaya (SIM B). Hahaha.
Alhasil tenggelamlah saya.
Pernah seingat saya, oleh keluarga yang menetap di rumah, saya disodori kayu untuk digapai.
Untung saja mata saya dalam keadaan membelalak sebelalak - belalaknya.
Sepotong kayu pun menjadi penyelamat bocah nekad.

Pernah pula, satu waktu.
Bapak bersama adik cantik saya, dan tentu juga saya, mandi di parit besar itu.
Berhubung hanya memiliki satu pelampung, kami harus bergantian.
(Hihihi...ternyata trik orangtua agar kami belajar berbagi, dan orangtua berhemat juga..ah sekali dayung dua tiga empat pulau terlampaui).
Begitu usai shift saya menggunakan pelampung berkepala bebek. (Masih ingat)
Adik saya dengan takut - takut menggerakkan badannya maju. Dan berenang.
Saya, lagi - lagi dengan pemikiran cetek yang nekad, terjun, menggapai bahian belakang pelampung yang sedang dikenakan adik cantik.
Hehehe...seingat saya dan berdasarkan cerita. Tangan saya tidak mencapai belakang pelampung.
Alhasil, hahaha...menatap bagian dalam dan dasar parit lagi.
Air parit yang masa itu masih bening, seperti aquarium besar, berseliweran ikan - ikan kecil.
Ikan gendang gendis juga ada.

Tiga kali selanjutnya pun memiliki ending yang sama.
Tenggelam.
Bayangkan 5 kali tenggelam.
Betapa cemasnya mama dengan bocah gadisnya yang tidak mengenal kata -jera-.

Sudah menjadi "tradisi" kami, nyaris setiap liburan ke Sambas.
Ke rumah Bang Iin, abah Iin kami memanggilnya.

Rumah di tepi sungai.
Dapur menjadi tempat favorit mama dan angah, jikalau kami datang berkunjung.
Saya sangat menyukai pelataran mandinya.
Panjang.
Kalau saja air pasang, dengan menanti bolak - balik, kami memastikan air sudah mencapai pelataran belakang.
Di sini, pelampungnya ada banyak.
Dengan jerigen bekas minyak makan, hehe...puaslah hati menjadikannya pelampung.
Ban - ban mobil besar pun ada.

Tapi mama dan angah, entah bagaimana sudah kompak untuk mengajari saya berenang.
Alih - alih mengajari dengan cara yang umum, dengan karakter saya yang semangatnya berapi - api.
Saya dilempar ke tengah sungai.
Memastikan aman, ada beberapa sepupu yang seumuran dan lebih besar dan sudah tau berenang tentunya untuk menunggu saya di sungai yang sudah pasang tinggi.

Tenggelam. Timbul. Tenggelam.
Lalu akhirnya kelimpungan saya berhasil membuat tubuh saya timbul, tidak tenggelam.
Mungkin usia saya 6 atau 7 tahun, saat itu.
Badan kecil saya sangat menyukai aktivitas berenang.
Sejak saat itu, motto baru si cilik Lia adalah "berenang seawal mungkin, selesai seakhir mungkin"
Hahaha, dapat dibayangkan.
Kami kompak berenang sudah sejak awal air pasang. Hingga air sunga surut kembali (asal bukan malam hari).

Mulailah Angah Yani bercerita tentang si hantu sungai Sambas.
Adanya penampakan jallu.
Mama juga ikut - ikutan cerita kisah kecilnya yang nyaris tenggelam saat mandi di jamban di waktu masuk magrib.
Alasannya, agar kami tidak lagi gila berenang. Lupa waktu.
Kompak pink (2008)

Bahkan seperti kaset rusak.
Mama dan Angah sepertinya kompak, "Naik udeek, kallak kambang."
Nah lho. Kembang??
Kok bisa kembang, memangnya kita balon?
Hahaha.
Anak kecil, mana tau dengan kembang tidak kembang.
Yang kami tau, air sungai masih dapat direnangi.
Ya sudah. Sampai kerisut kulit jari dan menggigil, barulah episode berenang "hari ini" usai. Esok lagi.

Rumah Abah Iin dan Angah Yani, selalu saja kami basahi lantai kayunya dengan air dari tubuh yang tidak berhanduk. Dan nyaris tiap kali pula, kami mendapat sedikit ringtone yang sama tentang lantai basah yang harus di pel lagi.
Hihihi.

Seringkali, kami dua beradik, "dikirim" ke Sambas saat liburan untuk belajar membuat kue lapis.
Budaya Sambas saat hari raya Idul Fitri adalah menyajikan kue lapis yang legit dan khas.
Dari lapis putih kuning, lapis sersan, lapis susu, lapis belacan, bahkan lapis bermotif, pucuk rabbong. 
Nah, yang bermotif ini kurang menarik bagi saya. Karena memang kelemahan saya pada hal detail dan kerapihan, saya enggan untuk tau mengenai motif - motif ini.

Hingga pernah satu kali, awal belajar lapis bermotif.
Angah Yani selalu memulai pelajarannya dengan praktek membuat lapis sersan.
Lapisan motif yang dibakar terpisah dulu, lalu dilapis tumpuk direkatkan dengan selai. Kemudian di iris menyerong untuk memberi kesan tanda "sersan" saat direkatkan kembali di loyang yang sudah berlapis dasar.
Aha...saya masih ingat ternyata.

Saya yang cuek, diomeli karena irisan serong saya yang jauh dari kata rapi.
Sedangkan sepupu saya seorangnya lagi merasa sangat terluka karena lapisnya salah total dan menjadi makanan para ikan di sungai.

Tapi omelan demi omelan yang saya peroleh itu karena memang saya pantas mendapatkannya.
Sehingga tidak ada sedikit pun rasa kesal.
Tanya saja mama, apakah ada sehari beliau tidak mengomeli saya.

Karena hubungan baik komunikasi kami ini, menyebabkan saya sangat mempercayai kakak sepupu tercinta ini, Angah Yani.
Entah berapa banyak curhat saya padanya.
Selain pada mama, Angah Yani salah satu dari sekian orang spesial yang menjadi tempat saya mencurahkan hati.
Nasihat - nasihatnya.
Omelannya yang seperti kaset rusak.
Candanya.
Perhatiannya.
Murah hati atas rezeqinya.
Sangat saya. Bukan hanya saya.
Sangat kami rindukan.

Kenangan kecil di masa liburan bersama keluarga Angah Yani selalu mendulang rasa manis saat dikisahkan kembali.
Kami sangat menikmatinya.

2009, saya dinikahi pria manis asal Kota Sambas.
Setelah menikah, saya diboyong dan menetap di Sambas.
Meski kota ini sudah terasa akrab, tapi terus terang saja, keberadaan Angah Yani-lah sehingga saya dapat mudah beradaptasi dan merasa semakin krasan.
Ada kakak teman curhat.
Nyaris tiap minggu menjadi jadwal kami saling mengunjungi.
Kalau sudah saya dan suami tidak ada kabar selama beberapa hari, beliau sudah cemas.
Sangat sering sekali kami mendapat kiriman masakan rumah, meski di saat beliau sakit sekalipun.
Benar - benar kakak yang dapat diandalkan.
Puasa, kami berbuka bersama.
Rasa sepi hanya berdua di toko terobati saat bersama Angah, Abah, Maya, Semol plus si kaccol Kaka.
(^^,)/

Beliau kakak lembut hati, yang tidak sungkan menegur saat kami salah.
Kakak yang dapat diandalkan dan dipercaya.
Kakak yang mempunyai hati yang hangat untuk berbagi.
Kakak yang selalu dapat diandalkan, meski kami adik - adiknya tidaklah selalu dapat diandalkan.
Kakak yang penuh maaf.
Kakak yang...betapa sangat dirindukan.

Nikahan Maya dan Semol (2008)
Tidak habis kisah untuk dikenang.
Takkan cukup tuk dituliskan.

Kakak yang kami sayangi.
Maafkan kami yang tidak dapat diandalkan.
Teriring doa,  semoga berlimpah rahmat ALLAH, ridha ALLAH, diampunkan dosa-dosa.
Insya ALLAH, semoga syurga tempatnya.

Tak terbilang rasa rindu.
Sesungguhnya engkau tenang di sana, sedangkan kami di dunia ini, yang kehilangan akan terus menjalin silaturahmi dengan orang - orang yang engkau cintai.
Karena sesungguhnya engkau tidaklah benar - benar pergi, hanya kembali.
Kembali pada Sang Pemilik Hidup dan Mati.
Seperti halnya kelak kami pun kan kembali.

Tiada daya dan upaya, hanya dari Allah semata.


Tidak lagi di rumah tepi sungai, 2010

Idul Adha (2012)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Template by BloggerCandy.com