Pages

Rabu, 01 Agustus 2018

BAGAIMANA CARA MENGURANGI PERUNDUNGAN (BULLY)

Bully atau perundungan dalam Bahasa Indonesia berarti gangguan atau perilaku yang mengusik. Zaman serba digital, sering tanpa kita sadari kita telah melakukan bully atau perundungan, terutama kepada anak anak. Perundungan tidak melulu dilakukan secara fisik seperti menarik paksa, mendorong atau memukul. Penaman atau pemberian label yang mengusik jiwa dan perasaan nyaman seseorang juga bentuk dari perundungan.
"Hei muka rata" karena wajahnya dinilai tidak memiliki hidung yang mancung
"Si Bogel" karena sewaktu kecil pernah main keluar rumah tanpa pakaian sehingga menjadi nama panggilan sampai dewasa.
"Anak Babi" karena ia mengkonsumsi babi dalam kesehariannya, sedangkan teman temannya dibesarkan tidak mengkonsumsi daging babi.

Berdasarakan pengalaman pribadi dipanggil dengan sebutan pendek atau semacamnya yang merupakan gambaran ringkas dari tubuh saya yang memang mungil dan tidak seproposional standar makhluk bumi ^^ Penamaan ini sejak kecil hingga lepas remaja adalah hal yang cukup melukai. Tapi saya yakin yang saya alami tidak seberapa dibandingkan dengan yang sedang atau mungkin berpotensi dialami yang lain.

Murid les saya pernah mengalami sebutan anak babi di sekolah karena kurangnya kepekaan akan pemahaman mengenai perbedaan di lingkungan sekolahnya.

Seorang teman sampai tidak mau memiliki sosial media karena ia masih merasa malu foto lama sewakktu ia kecil dan masih polos dalam keadaan telanjang dibagikan secara publik oleh anggota keluarganya.

Seorang anak yang masih berusia empat tahun menolak untuk makan karena merasa malu disebut gendut setiap kali bertemu kakak, bibi dan pamannya.

Postingan foto kita yang berisikan kondisi seorang teman dalam keadaan memalukan atau sekadar editan yang jika itu adalah kita maka kita sendiri pun tidak akan bersedia itu dibagikan dan dipertontonkan kepada orang lain, meskipun untuk sekadar lelucon. Kemudian dikomentari dan dihakimi oleh orang lain yang bahan tidak memahami kejadian yang sebenarnya.

Kalimat kalimat merendahkan yang dikatakan berulang kali dan membuat seseorang mempercayai bahwa ia memang demikian hingga merasa putus asa.

Apakah ada kejadian yang serupa?
Atau bahkan mungkin lebih buruk lagi?

Kita harus merubah diri, agar lingkungan dapat berubah.
Beberapa yang sudah saya terapkan kepada diri sendiri dan orang terdekat yang memerlukan ini :
1. Berhenti menyalahkan diri sendiri. Tidak ada manusia yang sempurna tanpa cela, tanpa kekurangan. Terima kekurangan diri sehingga jika ada bentuk gangguan dari luar, kita dapat menaanggapinya dengan cukup santai dan mencintai diri sendiri.

2. Berhenti menjadi orang yang mudah menghakimi suatu kejadian atau seseorang jika kita tidak mengetahui pekara sebenarnya. Dunia serba viral, orang mudah sekali membagikan sesuatu hanya dengan bantuan satu jari tanpa kepala, tanpa tanggungjawab.

3. Belajar untuk berempati. Sebelum melakukan atau merespon sesuatu pikirkan bagaimana jika hal ini kita alami sendiri.

4. Sampaikan kalimat positif yang tulus dan jujur. Kenyataan tidak selalu pahit, meskipun tidak pasti manis. Seperti saya mencoba menyampaikan bagaimana Charles, murid les saya sebaiknya merespon panggilan tidak mengenakkan yang diberikan teman temannya di sekolah. Saya mencoba membuatnya melihat dari dua sisi agar Charles memahami teman temannya sangat mungkin kurang mengenalnya seperti saya mengenalnya. Menyampaikan betapa ia sangat baik hati karena tidak membalas dengan kata kata yang kasar dan menyampaikan bahwa cara terbaik adalah dia belajar tekun agar ilmunya bisa membuatnya lebih bermanfaat saat ia besar nanti. Hati yang baik memerlukan otak yang cerdas dan tubuh yang sehat. Alhamdulillah. Memang tidak singkat penyelesaiannya. Charles melewati banyak waktu untuk melawan rasa tidak percaya diri akibat perlakuan yang berbeda dari teman sekolahnya. Well, dia berhasil menjadi peringkat dua dan memiliki beberapa teman baik setelah sempat tidak naik kelas satu tahun di tahun pertamanya sekolah. 
Sebenarnya saya lah yang belajar banyak darinya sehingga ini dapat dijadikan pengingat untuk berbuat dan mengasah kepekaan terhadap korban bully, lebih baik.

5. Belajar memaafkan. Beberapa kasus murid les saya yang justru menjadi pelaku bully adalah anak anak yang kurang perhatian. Sebagian besar teman saya yang memiliki kebiasaan merundung juga memiliki latar belakang serupa yaitu haus perhatian. Meski secara kenyataannya memaafkan perundung tidaklah mudah tapi jika diperhatikan dengan sangat baik, sebenarnya pelaku memerlukan pertolongan secara kejiwaan lebih besar dari pada sang korban. Bisa dikatakan jiwanya cukup sakit sehingga mencoba menunjukkan superiornya dengan merendahkan orang lain.

6. Meningkatkan kepekaan dalam pendidikan dasar baik dari keluarga dan lingkungan mengenai empati dan menerima perbedaan yang setiap dari kita adalah bagian dari pendidikan dasar tersebut.

7. Sekali lagi. Gunakan jari (digital) dan lisan dengan rasa empati. Apakah kita bersedia diperlakukan sama dengan yang akan atau sedang kita lakukan saat ini.

8. Selain jangan sampai menjadi pelaku, maka jangan pula bersedia menjadi penonton saat perundungan atau bullying terjadi. Jika tidak mampu menghentikan, segera carilah pertolongan.

Dituliskan berdasarkan pengalaman pribadi yang masih sangat sedikit semoga tidak mengurangi pesan dari tulisan ini.
Hope for better life.

With love,

Lia



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Template by BloggerCandy.com