Pages

Minggu, 29 Desember 2013

SI MUNGIL SI PENDEK SI KATAI

Saya perempuan dengan ukuran tubuh mungil.
Saya gunakan kata mungil karena saya sangat menikmati imut tubuh saya sebagai suatu yang khas.

Oke, tidak bermaksud narsis dengan banyak menggunakan subjek -saya-.
Catatan penuh cinta kali ini saya dedikasikan untuk diri saya sendiri.


Di masa remaja, tumbuh besar dengan tubuh yang cukup lambat perkembangannya, itu tidak semudah sekarang.

Rasa getir pada masa remaja saya simpan bukan untuk mendendam, tapi lebih sebagai cambuk agar saya memahami perasaan -rendah diri- yang mungkin juga banyak dialami remaja lain.

Alhamdulillah, meski saya mungil, Allah mengamanahkan raga yang cukup lincah dan menyukai aktivitas luar rumah.

Dulu, saat remaja. Sekolah Menengah Pertama hingga Sekolah Menengah Atas, saat kebanyakan teman - teman tumbuh pesat, tinggi, ramping...saya dan sebagian yang lain tumbuh tidak meninggi namun melebar.

Hahaha...titik tumbuhnya berpindah ke samping, itu bahasa guyon saya yang paling favorite.

Jika saya menggunakan kata -dulu- ini karena saya masih dapat menggambarkan rasanya dengan cukup baik dan dapat dipertanggung jawabkan.

Dulu (seperti sudah sangat tua saja...hehehe), saya cukup sering mendapat kata - kata yang mengerdilkan hati. 

Katai, Pendek, Cebol. Kurcaci.

Maka dengan keyakinan penuh dan tanpa paksaan siapapun saya berjanji dan berusaha untuk tidak menggunakan kata - kata menyedihkan tersebut pada orang lain.

Hey, siapa yang tidak mau tumbuh dengan tubuh proposional ???

Saya bersyukur, sangat bersyukur, Allah dengan banyak nikmatnya dan ini salah satunya, saya termasuk tipe bebal yang cukup mampu menutupi rasa luka.

Hey, remaja mana yang tidak malu dikatai demikian ???

Tapi pada masa itu saya menyikapinya dengan sok tegar. Bahkan seringkali berpura - pura tidak dengar.
Sangat saya sadari, saya tidak sendiri.

Saya akhirnya mempunyai kebiasaan bercermin dan berbicara pada bayangan di cermin, bahwa saya pendek. saya pendek. saya pendek. Berulang - ulang. Dengan harapan saat kata tersebut dan sejenisnya dilontarkan lagi pada saya oleh orang lain, saya akan terbiasa.

Saya menyukai olahraga, meski dengan ukuran tubuh mungil dan sering diremehkan.

Sayangnya, saat itu tanpa saya sadari, perkataan mengecilkan hati itu memang berhasil membuat saya rendah diri.

Tidak percaya diri itu sama dengan di dalam gelap tapi tidak menyalakan cahaya sedikit pun.

Antara ada dan tiada.
Saya dan remaja tidak percaya diri pada umumnya akan kesulitan mengekspresikan diri, mudah tersinggung, hidup dalam bayang - bayang orang lain dan parahnya redup tanpa sinar.

Saya sangat ingat, saya harus belajar menerima kekurangan diri.
Pada masa itu tidak mudah, mengingat kemampuan saya mengendalikan emosi masih amatiran, ah sekarang juga. 

Saya masih sering berbicara dengan bayangan di cermin dan berkata, "saya mungil dan cerdas". 

Terbukti pemilihan kata yang bernilai positif meski dengan makna yang serupa, itu mampu memulihkan mental yang meredup.

Dan saya pun sangat ingat, saya mendapatkan kembali rasa percaya diri saya saat kelas tiga sekolah menengah atas atau kelas dua belas, sekarang.

Saat itu saya berada di lingkungan baru, mendapat kelas yang dibaur dengan teman - teman dari kelas - kelas sebelumnya yang berbeda.

Saya ya saya.

Ketertarikan saya pada bidang psikologi dan membuat saya, pada saat itu berniat melanjutkan pendidikan strata satu ke bidang yang saya sukai tersebut (tapi pada akhirnya melanjutkan ke Jurusan Kehutanan) .

Saya menyadari, saya mempunyai kebiasaan memperhatikan sekeliling.

Tanpa bermaksud campur urusan oranglain, tapi dalam diam saya, saya merasa saya mudah paham gelisah dari mata, murung dari senyum yang dipaksa, dan rasa lainnya yang diperagakan dalam keseharian orang - orang di sekitar saya.

Dan saya terbiasa dengan kata mungil. Terbiasa dengan ketertarikan sok memahami orang lain. Terbiasa dengan sok mudah bersimpati. Dan parahnya saya pun seringkali menjadi sok pahlawan saat ada yang mendapat kekerasan secara verbal. Kebiasaan terakhir ini masih mendarah daging sampai sekarang.
Saya tidak segan - segan menegur pelaku kekerasan verbal.

Ini saya rasa karena saya dapat memahami bagaimana rasanya sakit mendapat perkataan - perkataan yang mengkerdilkan hati. Kekerasan verbal itu dapat berakibat parah. Dapat berakibat pada matinya karakter seseorang. Dan saya tidak tahan jika itu terjadi di depan mata saya.
  
Tidak. Yang saya alami ini belum seberapa.
Saya prihatin karena sangat mungkin sangat banyak kasus kekerasan secara verbal terhadap remaja di luar sana.

Ini hanya satu dari sekian banyak contoh betapa kekerasan secara verbal itu tetap sangat menyakitkan, sama menyakitkannya dengan kekerasan secara fisik.

Cerita dalam catatan penuh cinta ini ingin sedikit berbagi. Lebih besar lagi harapan semoga dapat menggugah.

Remaja seperti yang kita ketahui oleh orang - orang yang berhasil dewasa adalah insan yang masih labil secara emosi. Remaja itu rentan menjadi korban sekaligus pelaku kekerasan secara verbal dan fisik.

Yang remaja, dan bersedia sebagai pembaca catatan ini, saya harap dapat belajar melembutkan hati untuk mudah bersimpati dan memposisikan diri di pihak lain sehingga tidak mudah terpancing berbuat kekerasan dan tidak berpendidikn. Yang remaja, semoga bersedia menjadi remaja yang ucapannya memotivasi dan bermanfaat, perilakunya dapat menjadi inspirasi. Remaja adalah kekuatan muda. Sangat penting bagi majunya kemajuan suatu negara.

Yang merasa dan mengaku sudah dewasa, semoga dapat semakin lembut hatinya untuk menjadi inspirasi hal - hal dan kalimat - kalimat bermakna positif, merangkul, menentramkan dan tauladan bagi aktivitas yang sarat manfaat.

Tanpa bermaksud menggurui.
Ini sedikit kisah dalam bentuk catatan penuh cinta.

Saya masih Lia yang sama...SEMANGAT!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Template by BloggerCandy.com